Pangeran Air

Aku tahu, aku suka gerimis. Hujan yang tak terlalu deras. Kau pernah mengatakan itu bertahun-tahun lalu, ketika kita kedinginan setelah hujan membasahkan kita.
"Aku lahir dari hujan" katamu. "Dalam tubuhku mengalir segala air"
"Apakah setiap hujan melahirkan orang-orang sepertimu? aku ingin dilahirkan lebih banyak, biar setiap diriku itu bertemu dengan dirimu yang lain itu..." kataku.
"Tidak! akulah satu-satunya anak hujan" kamu menjawab.
Kemudian kau menghilang dibalik tikungan, dalam hujan yang masih membasahkan kota. Kau memang selalu muncul dihadapanku saat hujan tiba. Itulah kenapa kemudian aku selalu mengharapkan hujan datang setiap saat dan kau akan datang kepadaku. Aku akan tersiksa jika musim kemarau tiba, dan hujan tak pernah datang kepadaku lagi. Aku kehilangan udara yang menghidupkanku, kehilangan air yang menghilangkan dahagaku, kehilangan cahaya yang menerangi langkahku, kehilangan nadi yang mendenyutkan jantungku. Dan aku akan mati....
"Jangan mati.." katamu sesaat.
"Jika tak ingin aku mati, tetaplah berada di dekatku.."
"Aku tak bisa selalu dekat denganmu.. musim selalu berganti, itulah hukumalam..."
"Kenapa?"
"Ada api dalam hati dan pikiranmu, dan itu akan membunuhku.."
"Api selalu ada dalam hati dan pikiran siapapun", kataku.
"Tapi tidak denganku. Sebab jika ada api, aku akan mati"
"Seperti dongeng H.C. Anderson tentang Putri Air dan Pangeran Api?"
"Hemm. Bukan. Aku adalah pangeran Air.."
"Dan aku Putri Api? Tidak! Aku putri Air. Aku mencintai hujan."
***
Aku berjumpa pertama kali dengannya ketika berhari-hari hujan membasahkan kotaku. Kotaku dibangun tidak dengan perencanaan yang baik. Kaum urban yang selalu datang dan tiba-tiba kota mungilku berubah menjadi kota raksasa yang siap memakan siapa dan apa saja. Drainase yang buruk membuat danau muncul dimana-mana saat hujan tiba. Lucu, kadang aku melihat kotaku mirip danau, dengan atap-atap rumah dan gedung terlihat diatasnya.
Dia muncul ketika itu, seperti keluar dari salah satu danau itu, dengan segalanya yang basah pada dirinya; celana jinsnya, kaus hitam oblongnya, rambut gondrongnya. Teapat didepan jendelaku dia berdiri. Aku mengamatinya dan sesaat agak terpana.
"Apakah aku mengenalmu?" tanyaku.
Dia menggeleng pelan. Air pada rambutnya ikut bergerak seperti gambar 'slow motion' di TV. Aku menikmati hujan yang sudah dalam bentuk gerimis saat itu.
"Lalu mengapa kau disini dan solah mengenalku?"
"Aku selalu datang kepada setiap gadis yang menikmati hujan" katanya.
"Setiap gadis..?"
"Ya"
"Banyak gadis menyukai hujan"
"Tapi tidak banyak yang mencintainya, menikmatinya.. Kau melakukan itu"
"Hujan akan menenggelamkan kotaku.."
"Jangan salahkan hujan"
"Kadang hujan membuatku putus asa dan karena banyak orang mati karenanya. Tapi aku menunggunya, mencintainya"
"Jangan salahkan hujan" Suaranya terdengar lunak seperti memelas.
"Seluruh anggota keluargaku mati karena hujan berhari-hari menjebol tanggul sebuah waduk. Sialnya, ketika aku pindah ke kota ini, aku masih mencintai hujan"
"Ohh.. Aku ikut berduka"
Beberapa saat kemudian gerimis sudah mulai berhenti dan cahaya matahari mulai terlihat. Dia kemudian pamit untuk pergi, dia takut kepanasan katanya. Kulitnya akan mengelupas jika terkena sinar matahari. Setengah bercanda kukatakan apakah dia semacam drakula, dan dia tersenyum amat manis. 
"Aku belum tahu namamu" kataku kemudian.
"Aku akan selalu datang disaat kau menikmati hujan, kau tak perlu namaku, seperti aku juga tak perlu namamu, tetaplah cintai hujan"
Dia kemudian berjalan kekiri jendela dan hilang dari pandanganku karena terhalang oleh tembok.
***
Bertahun-tahun kemudian, musim kemarau datang berbulan-bulan hingga hitungan tahun. Banyak hutan terbakar, lahan terbakar, kota terbakar, hati terbakar.. Kabut dan asap datang dari segala penjuru mata angin. Dari setiap celah tanah, kota dan juga daerah lainnya terkepung asap dan jerebu. Banyak anak sakit bahkan mati. Rumah Sakit tak mampu lagi menampung jumlah mereka, kejadian ini menjadi wabah. Dan aku selalu merindukan lelaki itu, yang selalu datang dengan segala basahnya. Tetapi ia tak pernah datang lagi. Aku maklum, karena dia akan datang bersama hujan. Seperti setiap musim hujan. Di sebuah senja, seseorang, entah siapa, datang dan tanpa kata-kata memberikan sebuah surat kepadaku. Surat kusam bersampul muram. Warna putih kenuning-kuningan.
"Untukku?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Dari siapa?" Aku bertanya lagi. 
Dia menggeleng kemudian pergi menembus kabut. Aku menangis dua hari tiga malam setelah membaca surat itu, katanya.. 


Maafkan aku, aku tak bisa menemuimu hampir setahun ini. Saat kemarau yang membuat kotamu terkepung kabut dan jerebu. Aku ingin sekali melihat matamu, rambutmu, dan ketulusan hatimu. Tapi aku akan mati jika memaksakan diri. Aku akan mati oleh panas dan jerebu. Aku tidak mau mati karena itu. Sebab jika aku mati, aku tak akan bisa menemuimu lagi. Aku sedang mencari negri dimana hujan bisa turun disana. Karena disanalah aku bisa hidup. Aku berjanji akan datang padamu, saat hujan kembali kekotamu.
namun hingga bertahun-tahun kemudian, hujan pun tak pernah datang. Wabah kelaparan dimana-mana. Hutan habis terbakar. Sungai-sungai mengering kehilangan sumber air. Angin yang membawa hawa panas datang setiap hari. Kematian menjadi hal yang biasa ditiap waktu. Tiba-tiba, aku kini menjadi tua, dan keriput. Namun herannya berpuluh-puluh tahun kemudian. bahkan beratus-ratus tahun aku tidak mati-mati. Aku tetap hidup dan melihat dunia berubah dengan segala bentuknya.
Aku sangat ingin mati. Tapi jika aku mati, pasti aku tidak akan bertemu dengan mu saat hujan datang. Aku sangat rindu. #

CONVERSATION

Back
to top